
(foto: pemadaman kebakaran lahan masyarakat)
harianmetropolitan.co.id- NATUNA– Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di sejumlah daerah jadi pertanda jika Indonesia memasuki musim kemarau. Tak terkecuali, Kabupaten Natuna. Meski secara geografis Kabupaten Natuna dikelilingi 99 persen lautan dan 1 persen daratan, nyatanya luas 1 persen daratan tersebut sangat berpotensi terjadi Karhutla.
Apalagi, jika pembakaran hutan dan lahan justru dianggap sebagai tradisi oleh masyarakat lokal, dengan dalih alih fungsi lahan untuk perkebunan skala kecil. Metode ini dinilai paling efektif dan efisien sehingga sudah acap kali dilakukan sejak tahun 90-an.
Polisi Resort (Polres) Kabupaten Natuna baru-baru ini menangkap seorang warga Natuna bernama Ujang, karena kedapatan membakar rumput di lahan kebun miliknya. Aksi sigap kepolisian ini dilatarbelakangi instruksi Presiden dan Kapolri terkait pencegahan Karhutla di setiap daerah.
Penangkapan itu lantas menggemparkan warga Natuna. Pemerintah Daerah pun pun dibuat dilema, karena dihadapkan pada kearifan lokal dan hukum pidana. Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, tentu tak pilih kasih dalam menindak, meskipun itu masyarakat adat, maupun korporasi. Pembakaran hutan merupakan pelanggaran hukum yang diancam dengan sanksi pidana 15 tahun penjara dan denda Rp5 miliar.
Pelajaran dari kasus ini, sejatinya kepolisian jangan hanya sekedar ingin membuat efek jera bagi pelaku. Solusi terbaik adalah dengan melakukan tindakan persuasif dan mengenalkan sejak dini bahaya Karhutla secara masif dan berkesinambungan, termasuk bagaimana penanganannya.
Tindakan pemerintah daerah bersama kepolisian membuat posko penanganan Karhutla di setiap kecamatan perlu diapresiasi, tapi jangan hanya muncul saat ada persoalan Karhutla saja. Sosialisasi melalui perangkat RT/RW dan tokoh adat perlu digalakkan, sehingga masyarakat lokal yang masih buta hukum, dan gagap ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), bisa teredukasi.
Dengan kewenangannya, pemerintah daerah harus mempresentasikan dampak membakar hutan dan lahan, mulai dari segi kehidupan, ekonomi, sosial, hingga konsekuensi hukum pada masyarakat. Selain itu, Pemda juga bisa menyediakan tenaga ahli kehutanan dan perkebunan yang dapat memberi edukasi ke warga, terkait pemanfaat teknologi tepat guna untuk mengolah lahan tidur menjadi lahan produktif, tanpa harus merusak. Edukasi dan penegakan hukum yang adil tentu cukup menjadi modal utama menekan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Natuna. (*Rian)