
KARIMUN– Sepenggal lirik lagu dari KoesPloes berbunyi, “bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu tiada badai tiada topan kau temui, ikan dan udang menghampiri dirimu” menandakan betapa berlimpahnya kekayaan sumber daya alam Bangsa Indonesia. Namun, kekayaan sumber daya alam ini belum sepenuhnya dikelola dengan baik terutama wilayah maritim.
Salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau, Kabupaten Karimun misalnya. Di tengah kekayaan sumber daya kelautan dan perikanan yang berlimpah dan letak wilayah yang begitu strategis karena berbatasan dengan Negara Singapura dan Malaysia, tapi jumlah penduduk miskin berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Karimun pada tahun 2020 sebanyak 15,99 ribu orang atau sekitar 6,83 persen dari jumlah penduduk 411.052 orang. Sementara tingkat pengangguran di daerah ini pada tahun 2020 per bulan Agustus mencapai 8.36 persen. Lantas, mengapa masih ada penduduk miskin dan pengangguran di tengah kekayaan SDA?

Ketua Organisasi Nelayan Terpadu Kabupaten Karimun, Azizman- biasa disapa Aziz, saat dihubungi wartawan via panggilan telephon seluler, Kamis 30 September 2021 siang, bercerita, kehidupan nelayan tradisional memang sederhana. Pergi kelaut saat sore hari dan pulang di pagi hari. Rutinitas ini dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Menurutnya, untuk meningkatkan taraf hidup, nelayan tradisional harus beradaptasi untuk modernisasi alat tangkapnya. Modernisasi ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas nelayan saat melaut. Namun ia menyadari, tidak semua nelayan tradisional mampu memodernisasi alat tangkap karena keterbatasan modal dan sumber daya manusia.
Beruntung, sejak era Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Susi Pudjiastuti, perhatian terhadap nelayan tradisional oleh pemerintah cukup tinggi. Selain pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah daerah juga memberikan perhatian. Setiap tahun, pemerintah pusat, provinsi dan daerah menyalurkan bantuan alat tangkap pada nelayan tradisional melalui Kelompok Usaha Bersama (KUB). Penyaluran bantuan secara berkelompok ini bertujuan untuk mempermudah pemerintah melakukan pengawasan sehingga bantuan lebih tepat sasaran.

Berdasarkan data dari Dinas Perikanan Kabupaten Karimun di tahun 2017, Pemerintah Kabupaten Karimun menyerahkan bantuan sampan ketinting sebanyak 50 unit. Sementara di tahun 2018, pemerintah memberikan bantuan senilai Rp15,6 miliar, dengan rincian sebesar Rp13 miliar bersumber dari APBD Karimun dan Rp2,6 miliar berasal dari Dana Alokasi Khusus (DAK) 2018. Rincian bantuan yang diberikan adalah, 5 unit kapal pompong berkapasitas 2 gross tonage (GT), 32 sampan bermesin ketinting dan puluhan utas jaring ikan dan udang. Di tahun 2019, bantuan senilai Rp7,5 miliar dari pemerintah pusat, dan tahun 2020 nelayan mendapatkan bantuan kapal pancung dari pemerintah provinsi.
Aziz mengakui, belum semua kebutuhan nelayan tradisional terpenuhi, namun bantuan yang ada sudah cukup meringankan beban nelayan tradisional. Apalagi, sejak masa Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, nelayan tradisional tidak lagi kesulitan mendapatkan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. “Kemudahan –kemudahan inilah yang dirasakan oleh nelayan,” katanya.
Aziz juga menyarankan pada Pemerintah Daerah Kabupaten Karimun agar dapat membangun Tempat Pelelangan Ikan (TPI), supaya harga ikan di pasaran stabil. Pembangunan TPI ini salah satu upaya meningkatkan pendapatan nelayan. Sebab, hasil tangkapan ikan nelayan selama ini dibeli oleh penampung. Jadi kalau ikan banyak, harganya jatuh dan kondisi itu merugikan nelayan tradisional. “Oleh sebab itu dengan adanya TPI, maka meminimalisir permainan harga,” ucapnya.
Persoalan lain justru dialami oleh nelayan tradisional di Kelurahan Leho, Kecamatan Tebing. Ketua Nelayan Kelurahan Leho, Zulnaidi, saat diwawancarai, Kamis 30 September 2021, mengaku jika persoalan nelayan tradisional di daerahnya saat ini adalah terjadinya pendangkalan alur masuk perahu yang membuat nelayan kesulitan jika air laut sedang surut.
Permasalahan itu sudah belasan tahun disampaikan agar pemerintah dapat memperdalam alur laut sehingga nelayan tradisional dapat beraktivitas baik saat air laut pasang maupun surut. Tapi, sampai saat ini belum ada kejelasan. “Janji Bupati tahun 2021, kita tunggu saja,” katanya.

Sementara itu, Bupati Kabupaten Karimun, Aunur Rafiq, saat dikonfrimasi wartawan, mengatakan, Kabupaten Karimun sebagai kawasan maritim berkomitment dalam membangun infrastruktur kelautan dan perikanan. Komitment itu ia sampaikan sesuai program Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, yaitu Indonesia akan menjadi Poros Maritim Dunia. Namun, dalam melakukan percepatan pembangunan infrastruktur kelautan dan perikanan, Pemerintah Kabupaten Karimun kini memiliki persoalan baru dimana pemerintah kabupaten dan kota kehilangan kewenangan pengawasan dan pengelolaan laut berdasarkan Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Persoalan percepatan pembangunan infrastruktur kelautan dan perikanan juga semakin sulit untuk dikebut karena pemerintah disibukkan dengan penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Selain memprioritaskan anggaran di bidang pendidikan dan kesehatan, Pemerintah Kabupaten Karimun kini harus memprioritaskan anggaran untuk penanganan Covid-19.
Persoalan ini tentu menambah pekerjaan rumah pemerintah daerah dalam memperkuat kawasan maritim dan mensejahtrakan nelayan tradisional. Meski demikian, pemerintah akan terus berupaya meningkatkan kualitas nelayan tradisional, seperti memberikan bantuan seperti kapal dan sampan ketingting dan bantuan bibit ikan dan budidaya ikan laut berkelanjutan.
Ia juga tengah berusaha agar ada pembangunan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dengan menggunakan anggaran dari pemerintah pusat. Nantinya, TPI akan dibangun di Desa Parit dan Moro. “Lokasi sudah ada, tapi karna kekurangan biaya kita minta bantuan pusat,” katanya. Ia tidak menampik jika masih banyak kebutuhan nelayan yang belum terakomodir, namun ia meminta agar nelayan dapat bersabar sampai anggaran kembali normal.

Sementara itu, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Karimun, Nyimas Novi Ujiani, seorang Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), berpendapat, pemerintah sudah cukup baik mengakomodir keluhan nelayan tradisional, apalagi soal modrenisasi alat tangkap. Banyak bantuan nelayan yang sudah disalurkan oleh pemerintah pusat, provinsi dan daerah.
Namun, sebagai wakil rakyat, ia berharap pemerintah tidak lepas tangan begitu saja ketika selesai memberikan bantuan pada nelayan. Pemerintah harus melakukan pembinaan agar nelayan tidak menjual bantuan alat tangkap yang diberikan oleh pemerintah. Selain pembinaan, nelayan tradisional juga harus diberikan pelatihan guna meningkatkan kualitas dari sumber daya manusia nelayan tradisional itu sendiri. Sebab tanpa SDM yang mumpuni, nelayan tradisional tidak akan mampu bersaing.
(Oleh: Tim dari In House Training Jurnalistik Maritim Berwawasan Kebangsaan)