Domestik Kelapa Meningkat, Nilai Tembus Rp1,5 Miliar Sejak Oktober

 

NATUNA, harianmetropolitan.co.id- Penanggung Jawab Satuan Pelayanan Natuna, Balai Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan, Iwan Setiawan, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap keberlangsungan kelapa di Kabupaten Natuna. Menurutnya, jika eksploitasi besar-besaran terhadap kelapa terus terjadi tanpa adanya peremajaan atau penyulaman dalam dua hingga tiga tahun ke depan, maka produksi kelapa di wilayah ini dikhawatirkan akan habis, Senin 21 April 2025.

Iwan menyatakan, saat ini masih kelapa dari Natuna dikirim ke luar daerah yang belum terjangkau melalui proses sertifikasi resmi dari pihak karantina terutama di pulau-pulau yang jauh dari jangkaun layanan karantina. “Masih ada masyarakat awam yang beranggapan bahwa mengurus dokumen karantina itu sulit, padahal kami sangat terbuka dan prosesnya sangat mudah,” jelasnya.

Balai Karantina mulai aktif melakukan sertifikasi kelapa dari Kabupaten Natuna sejak Oktober 2024. Saat itu, tercatat sebanyak 43 ton kelapa berhasil disertifikasi. Jumlah ini meningkat pada bulan-bulan berikutnya, dengan 30 ton pada November, 135 ton pada Desember, 108 ton pada Januari 2025, 91 ton pada Februari, dan kembali meningkat menjadi 121 ton pada Maret.

“Jika dijumlahkan, dalam kurun waktu kurang dari setahun, sudah ratusan ton kelapa yang keluar dari Natuna, namun banyak yang belum terdata secara resmi melalui sistem BEST-TRUST karena sebelumnya sertifikasinya dilakukan di Tanjungpinang,” ungkap Iwan.

Menariknya, nilai ekonomi dari domestik kelapa menunjukkan angka signifikan. Pada Desember 2024, kelapa disertifikasi bernilai Rp324 juta untuk 135 ton. Sedangkan pada Januari 2025, meskipun hanya 108 ton, nilainya mencapai Rp457 juta karena kenaikan harga per butir kini berkisar antara Rp3.000 hingga Rp4.000.

Hingga 13 April 2025, tercatat nilai total domestik kelapa melalui karantina mencapai Rp1,534 miliar dari 10 pengepul aktif. Namun, masih banyak pengiriman kelapa dari pulau-pulau seperti Pulau Laut, Pulau Tiga, Midai dan Pulau Serasaan yang dilakukan dengan kapal kayu tanpa verifikasi karantina.

“Kami sudah menghimbau perangkat daerah agar memudahkan masyarakat untuk melaporkan pengiriman kelapa, bahkan cukup lewat telepon atau foto. Kami akan melakukan pengecekan kelayakan seperti tingkat kekeringan dan mutu sebelum sertifikasi,” terang Iwan.

Ia juga menegaskan bahwa sertifikasi tidak hanya diwajibkan untuk kelapa ekspor, namun juga domestik atau antar area. Proses sertifikasi pun tidak memberatkan, hanya memerlukan pemeriksaan fisik serta administrasi dasar seperti sertifikat Kesehatan Tumbuhan (KT) karena sudah berbasis digitalisasi layanan.

Balai Karantina juga telah melakukan monitoring ke berbagai daerah seperti Kelarik, Cemaga, dan Sepempang untuk memberikan edukasi kepada pengumpul.

“Dengan puluhan ton hanya dikenai biaya belasan ribu rupiah, namun manfaat sertifikasi sangat besar, baik dari sisi legalitas maupun jaminan kualitas produk,” ujar Iwan.

Saat ini terdapat lima pos layanan karantina di wilayah Natuna, yaitu di Serasan, Sedanau, Sadjad, Penagi, dan Selat Lampa. Iwan menegaskan, pihaknya tidak bertujuan menghambat usaha masyarakat, melainkan ingin memastikan bahwa sumber daya hayati Natuna terkontrol dan terlindungi dengan baik.

“Badan Karantina hadir bukan untuk menghambat, tapi untuk membantu. Jika masyarakat mengalami kendala, kami siap membantu dan membuka semua jalur komunikasi, baik melalui media sosial, telepon, WhatsApp, maupun datang langsung ke kantor kami,” tutupnya

(***Hani)

Bagikan

Recommended For You

About the Author: Redaksi Harian Metropolitan

Exit mobile version