
Tanjungpinang – Peredaran rokok tanpa cukai di sejumlah kabupaten dan kota di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) bukan sekadar persoalan ekonomi mikro—ia adalah pengkhianatan terhadap penerimaan negara dan penegakan hukum. Di pasar tradisional, lapak pinggir jalan, bahkan di beberapa gerai modern, masih mudah ditemukan rokok polos atau rokok yang tidak dilekati pita cukai sesuai ketentuan. Praktik ini merugikan kas negara karena mengeliminasi pungutan cukai yang dipungut untuk kepentingan publik, sekaligus merusak iklim persaingan usaha yang sehat bagi pelaku industri rokok yang taat aturan.
Hukum jelas mengatur bahwa cukai adalah pungutan negara terhadap barang tertentu—termasuk hasil tembakau—dan tidak boleh diakali. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai menegaskan mekanisme pemungutan dan sanksi bagi pelanggaran. Setiap barang kena cukai yang diedarkan tanpa dilunasi kewajiban cukainya atau tanpa melekat pita cukai dapat dikenai sanksi administrasi dan pidana. Dalam praktik penegakan, Pasal-Pasal kunci UU tersebut (mis. Pasal 29, Pasal 54, dan ketentuan sanksi) mengancam pelaku dengan ancaman penjara serta denda yang nilainya berkali-kali lipat dari cukai yang seharusnya dibayar.
Lebih lanjut, aturan teknis tarif dan jenis barang kena cukai diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mutakhir. PMK mengatur tarif cukai, pembagian golongan hasil tembakau, serta ketentuan lain yang menjadi dasar perhitungan pungutan. Ketidakpatuhan terhadap PMK ini jelas memudahkan masuknya produk yang “melompat” kewajiban fiskal—baik karena pita cukai palsu, rokok polos, maupun pemalsuan dokumen distribusi.
Ironisnya, meski regulasi sudah lengkap dan program pemberantasan rokok ilegal (seperti operasi terpadu) pernah dijalankan, fenomena peredaran rokok tanpa cukai di Kepri menunjukkan ada celah penegakan. Warga dan pelaku usaha lokal melaporkan mudahnya mendapatkan rokok ilegal; data penindakan nasional juga menunjukkan masih ditemukannya puluhan hingga ratusan juta batang rokok ilegal yang disita dalam operasi—angka yang menunjukkan masalah sistemik bukan kejadian terisolasi. Jika aparat pengawas terlihat abai atau responnya lamban, maka ada dua kemungkinan yang wajib diusut: (1) kapasitas penegakan yang belum memadai di tingkat lokal (SDM, patroli, sumber daya), atau (2) adanya praktek kelalaian atau kolusi yang harus diungkap.
Secara hukum, tindakan menawarkan, menyerahkan, menjual, atau menyediakan barang kena cukai tanpa pita cukai adalah tindak pidana. Ancaman hukuman meliputi pidana penjara (biasanya 1–5 tahun menurut ketentuan yang relevan) dan denda berkali-kali lipat dari nilai cukai yang belum dibayar. Aparat Bea dan Cukai berwenang melakukan penindakan, penyitaan, dan meneruskan proses pidana—oleh karena itu tuduhan bahwa Bea Cukai “tutup mata” harus ditanggapi serius: bila benar, itu merupakan kelalaian atau malapraktek yang mengkhianati amanat undang-undang; bila keliru, publik berhak mengetahui kendala teknis yang dihadapi institusi tersebut.
Apa yang harus dilakukan sekarang? Pertama, audit penegakan di wilayah Kepri: catat titik rawan, peta distribusi, dan jalur masuk rokok ilegal (impor ilegal, lintas pulau, atau produksi lokal tanpa izin). Kedua, percepat koordinasi antara Bea Cukai, Satpol PP, kepolisian, dan pemerintahan kabupaten/kota untuk operasi terpadu—mengembalikan kepercayaan publik bahwa hukum ditegakkan. Ketiga, tingkatkan transparansi hasil penindakan: jumlah barang yang disita, tindak lanjut hukum, dan sanksi yang dijatuhkan harus dipublikasikan agar klaim “tutup mata” bisa diklarifikasi dengan data. Keempat, pemberdayaan dan edukasi konsumen agar menolak produk tanpa pita cukai—karena konsumen juga menjadi bagian solusi fiskal publik. (Program intensifikasi seperti Gerakan GEMPUR Rokok Ilegal sudah tersedia sebagai kerangka tindakan; implementasinya harus memperkuat langkah-langkah di atas).
Kesimpulannya: peredaran rokok tanpa cukai di Kepri bukan hanya masalah kehilangan pendapatan—ia mencederai prinsip negara hukum dan keadilan pasar. Hukum sudah menyediakan alat untuk menjerat pelaku (UU No.39/2007 dan PMK terkait), tetapi penegakanlah yang menentukan apakah aturan itu hidup atau mati. Jika benar ada kecenderungan penutupan mata, publik berhak menuntut audit, transparansi, dan penindakan tegas sesuai ketentuan hukum. Negara tidak boleh kalah oleh keuntungan sesaat segelintir pelaku yang mengorbankan kepentingan rakyat banyak. (*DMS).