
Kontrak Berpotensi Batal Demi Hukum, Publik Pertanyakan Motif dan Transparansi Pengadaan
Bintan, harianemtropolitan.co.id – Proyek Pematangan Lahan Bangunan Gedung Negara pada Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang dan Pertanahan (PUPR) Kabupaten Bintan dengan nilai pagu Rp 438.000.000 memantik sorotan tajam. Dugaan penyimpangan dalam penetapan subklasifikasi Sertifikat Badan Usaha (SBU) pada proses pengadaan langsung dinilai bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Paket pekerjaan dengan hasil negosiasi Rp 399.987.062,05 itu mempersyaratkan SBU BG009 – Bangunan Gedung Lainnya, bukan PL003 – Penyiapan Lahan Konstruksi, yang secara teknis merupakan subklasifikasi semestinya untuk kegiatan pematangan lahan.
Temuan di situs resmi LPJK mengungkap bahwa CV Bintang Nusantara, sebagai pelaksana proyek, tidak memiliki SBU PL003. Perusahaan hanya tercatat mengantongi subklasifikasi BG005, BG006, BG009 dan BS001. Kondisi ini menimbulkan dugaan kuat adanya manipulasi syarat administratif untuk meloloskan peserta tertentu.

Tindakan ini dianggap berpotensi melanggar Peraturan Menteri PUPR Nomor 6 Tahun 2021 terkait Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, serta PP Nomor 5 Tahun 2021 Pasal 100 Ayat (2) yang menegaskan pentingnya kesesuaian antara kegiatan usaha dan standar risiko.
“Kesalahan subklasifikasi bukan sekadar kesalahan administrasi. Ini dapat menggugurkan legalitas kontrak dan berdampak pada potensi kerugian keuangan negara,” kata seorang sumber internal Pemkab Bintan yang meminta identitasnya dirahasiakan, Selasa (2/12/2025).
Menurutnya, persoalan ini menimbulkan pertanyaan serius. Apakah PPK tidak memahami regulasi atau ada unsur kesengajaan untuk mengarahkan proyek kepada pihak tertentu?

Dikonfirmasi melalui WhatsApp, Kepala Dinas PUPR Bintan, Wan Affandi, hanya membaca pesan yang dikirim harianmetropolitan.co.id, namun tidak memberikan tanggapan, Senin (1/12/2025). Hal serupa dilakukan Direktur CV Bintang Nusantara, A Siong yang hanya menjawab singkat “sedang di Jakarta”, tanpa penjelasan tambahan.
Sikap bungkam kedua pihak justru semakin menguatkan kecurigaan publik.
Pengamat kebijakan publik di Bintan menilai kasus ini harus segera direspons serius oleh Inspektorat dan Aparat Penegak Hukum (APH).
“PUPR adalah institusi yang mengelola anggaran besar dan harus memberi contoh integritas. Kalau klasifikasi dasar saja dilanggar, bagaimana kita memastikan akuntabilitas pelaksanaan proyek?” tegasnya.
Hingga berita ini terbit, tidak ada keterangan resmi dari Dinas PUPR maupun pelaksana proyek, meski upaya konfirmasi telah dilakukan.
Kasus ini menjadi ujian transparansi dan komitmen pemerintah daerah terhadap tata kelola keuangan negara. Tekanan publik semakin kuat agar dilakukan audit menyeluruh dan apabila terbukti menyimpang, kontrak harus dinyatakan batal demi hukum serta pelaku diproses sesuai ketentuan pidana pengadaan barang/jasa.

Publik kini menunggu apakah Pemkab Bintan akan mengambil tindakan atau justru membiarkan dugaan penyimpangan ini berlalu begitu saja. (***Dms).
