
Lingga, harianmetropolitan.co.id – Dugaan pembiaran terhadap aktivitas penebangan kayu mangrove jenis kayu tiki (bakau) di Desa Tanjung Kelit, Kecamatan Senayang, Kabupaten Lingga, kembali menuai sorotan keras publik. Praktik yang diduga ilegal tersebut disebut telah berlangsung bertahun-tahun tanpa penindakan tegas, sehingga mendorong desakan agar Polda Kepulauan Riau turun tangan langsung dan mengambil alih penanganan perkara.
Informasi yang berkembang di masyarakat menyebutkan bahwa aktivitas penebangan dan pengumpulan kayu mangrove tersebut kerap dibiarkan dengan dalih sebagai mata pencaharian warga, khususnya masyarakat Dusun Seberang yang masih berada dalam wilayah administratif Desa Tanjung Kelit. Alasan tersebut dinilai menjadi tameng pembenaran atas praktik perusakan lingkungan yang berdampak langsung pada ekosistem pesisir.
Ironisnya, di tengah lemahnya pengawasan, isu sensitif turut mencuat. Seorang oknum berinisial LW disebut-sebut memiliki peran dominan dalam aktivitas penebangan mangrove tersebut dan bahkan dinilai “kebal hukum”. Dugaan ini menguat lantaran praktik tersebut dikabarkan terus berjalan tanpa hambatan berarti dalam jangka waktu yang cukup lama.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan serius terkait komitmen aparat penegak hukum dalam menindak dugaan kejahatan lingkungan di wilayah Kabupaten Lingga. Padahal, mangrove merupakan ekosistem strategis yang berfungsi menahan abrasi, melindungi garis pantai, serta menopang keberlangsungan biota laut dan mata pencaharian nelayan.
Menanggapi sorotan publik tersebut, Kapolres Lingga AKBP Dr. P. M. Nababan, S.H., S.I.K., M.H., menyampaikan bahwa pihak kepolisian telah mengambil langkah penyelidikan. Ia menegaskan bahwa perkara penebangan mangrove tersebut saat ini sedang ditangani oleh Satpolair Polres Lingga.
“Peristiwa ini sudah kami selidiki dan saat ini ditangani oleh Satpolair Polres Lingga. Mohon waktu, perkembangan akan kami sampaikan,” ujar Kapolres Lingga, Rabu (31/12/2025).
Namun demikian, pernyataan tersebut belum sepenuhnya meredam kegelisahan publik. Masyarakat menilai penanganan kasus ini tidak boleh berhenti pada tahap penyelidikan semata, terlebih jika dugaan pembiaran telah berlangsung cukup lama.
Secara hukum, aktivitas penebangan mangrove tanpa izin berpotensi melanggar sejumlah ketentuan pidana. Di antaranya:
Pasal 69 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang melarang setiap orang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Pasal 98 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009, yang mengatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup dapat dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun, serta denda paling sedikit Rp3 miliar dan paling banyak Rp10 miliar.
Selain itu, penebangan mangrove juga berpotensi melanggar: Pasal 35 huruf e Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo. UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang secara tegas melarang kegiatan yang merusak ekosistem mangrove.
Pasal 73 ayat (1) UU Nomor 27 Tahun 2007, dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar bagi pelaku perusakan ekosistem pesisir.
Desakan Polda Kepri Turun Tangan
Atas dasar itu, publik secara terbuka menantang Polda Kepulauan Riau untuk menunjukkan ketegasan dan keberpihakan pada hukum serta kelestarian lingkungan. Keterlibatan Polda Kepri dinilai penting untuk memastikan proses penegakan hukum berjalan objektif, transparan, dan bebas dari dugaan perlindungan terhadap pihak-pihak tertentu.
Kasus penebangan mangrove di Senayang kini menjadi ujian nyata bagi aparat penegak hukum di Kepulauan Riau: apakah hukum benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu, atau justru tunduk pada praktik pembiaran yang berpotensi merusak lingkungan secara permanen. (Hendra).
Editor: (Dms).
