Masyarakat Natuna Harus Terlibat Pertahankan Status Geopark Nasional

(Ketua BP Geopark Natuna, M. Alim Sanjaya. foto-fian)

NATUNA, harianmetropolitan.co.id-Natuna telah ditetapkan sebagai kawasan Geopark Nasional. Sertifikat penetapannya telah diterbitkan oleh Komite Nasional Geopark Indonesia di Pongkor, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, akhir November 2018 silam.

Geopark merupakan konsep manajemen pengembangan suatu kawasan secara berkelanjutan, dengan memadukan tiga keanekaragaman alam. Yaitu geologi (geodiversity), hayati (biodiversity), dan budaya (culturaldiversity).

Pengangkatan status Kawasan Natuna menjadi Geopark Nasional inipun sebenarnya memberikan angin segar bagi Natuna, untuk terus melanjutkan program yang didukung oleh lintas sektoral pemerintahan.

Terlebih dalam pengembangannya, konsep ini berpilar pada aspek Konservasi, Edukasi, Pemberdayaan Masyarakat, dan Penumbuhan Nilai Ekonomi Lokal melalui geowisata. Artinya masyarakatlah yang paling merasakan manfaat dari keberadaan Geopark Natuna.

Namun ternyata, mempertahankan status Geopark Nasional jauh lebih berat dibandingkan mencapainya. Bukan berarti capaian Natuna tersebut dianggap sepele, namun menjaga kondisi bentang alam yang merupakan kawasan inti dari geopark atau taman bumi ini, jauh lebih sulit lagi.

Hal itu diakui oleh Ketua Badan Pengelola (BP) Geopark, Muhammad Alim Sanjaya. Menurutnya, salah satu yang kini menjadi pekerjaan rumah bagi BP Geopark adalah sosialisasi yang masif ke masyarakat terutama disekitar kawasn geopark.

“Karena pengertian masyarakat dalam penafsirannya ada yang menganggap jika daerahnya sudah ditetapkan geopark, maka tak bisa dibangun apa-apa lagi,” tutur Sanjaya di Kantor BP Geopark, kemarin.

Sanjaya menerangkan, meski suatu kawasan ditetapkan sebagai bagian geopark, lantas bukan berarti kawasan tersebut tidak boleh dibangunkan infrastruktur. Meski memang, pada kawasan yang ditunjuk sebagai kawasan inti, tidak boleh dirusak apalagi dirubah bentang alamnya.

“Kawasan yang sudah ditetapkan geosite itu bisa ditetapkan kawasan inti, itu tak boleh dirusak, sementara kawasan pendukung bisa dibangun seperti gazebo atau toilet,” sebutnya.

Selama ini, status kepemilikan lahan di taman bumi Natuna itu memang dimiliki masyarakat pribadi dan juga Negara. Hal inilah yang kian menjadi kendala dalam pengembangan dan pengelolaan geosite-geosite yang ada di Geopark.

“Ini memang berpotensi kendala, makanya dalam penetapan geoheritage oleh Badan Geologi juga mereka tak sekedar menetapkan. Mereka minta perwakilan masyarakat desa ikut dalam penetapan tersebut, bahwa titik ini akan dijadikan warisan geologi tapi bukan berarti seluruh hamparan itu tak boleh dibangun. Nanti ditetapkan kawasan yang inti itu tak boleh dibangun,” terang Sanjaya.

Baca Juga :  DPRD Kota Tanjungpinang Dengarkan Penyampaian LKPJ Walikota TA 2018

Masih katanya, kawasan geosite tak mesti dilengkapi infrastruktur yang serba lengkap. Maka dari itu, BP Geopark saat ini fokus pada geosite yang sudah berkembang dan memiliki pengelola.

“Untuk kawasan lain kita belum masuk ke situ, untuk ke masyarkat butuh pendekatan. Sebenarnya tidak ada angka baku jumlah geosite untuk menjadi geopark. Namun yang penting ada kawasan sudah punya pengelola,” katanya.

Pengelola yang dimaksud Sanjaya itu tak lain adalah masyarakat, namun dibentuk dalam kelompok sadar wisata (Pokdarwis). Demikian Ia meminta masyarakat tak khawatir jika tempatnya di tetapkan sebagai kawasan geosite geopark.

“Malah sebenarnya itu bisa datangkan manfaat, bisa mendatangkan keuntungan ekonomis jika dikelola. Bukan kami yang mengelola, bukan kami yang terima uang itu, semuanya masyarakat yang dapatkan manfaat, kami hanya jembatani,” sebut Sanjaya.

Keuntungan ekonomis masyarakat dari geopark sendiri adalah datangnya wisatawan. Sehingga geoproduk masyarakat berupa kerajinan tangan ataupun oleh-oleh yang dibuat masyarakat bisa dijual disana.

Adapun dikatakan Sanjaya, Geosite Geopark Natuna yang selama ini sudah terkelola dengan baik dari total 8 Geosite adalah Geosite Batu Kasah, Geosite Pulau Akar, Geosite Gunung Ranai, dan menyusul Geosite Pulau Setanau.

Berbicara soal Natuna akan menjemput status Unesco Global Geopark (UGG), seperti selama ini digaung-gaungkan. Sanjaya tak muluk-muluk untuk memaksakan Natuna, terlebih masih banyak yang perlu dipersiapkan.

” Perhatian pusat cukup besar, status Geopark Nasional dalam waktu relatif singkat kita dapat status itu. Maka target kita sebenarnya pertahankan dulu status geopark nasional ini,” bebernya.

Lanjut Sanjaya, “Untuk UGG ini panjang dan banyak, pertama kita harus punya masterplan menggabungkan kajian geologi (geodiversity), hayati (biodiversity), dan budaya (culturaldiversity). Ini cukup rumit pembuatannya, tahun ini tak semua kajian bisa diselesaikan, paling satu saja.”

Terakhir, Sanjaya pun berharap dukungan seluruh pihak untuk menjaga bersama status Geopark Natuna yang telah diraih.

“Karena mempertahankan itu akan lebih berat dibanding mencapainya,” pungkasnya. (*Alfian)

Bagikan

Recommended For You

About the Author: Redaksi Harian Metropolitan