Periksa KPU Natuna, Anggaran Pilkada Celah Praktek Korupsi?

(Ketua KPUD Natuna, Junaidi)

harianmetropolitan.co.id, Natuna— Praktek main petak umpet anggaran Pilkada, di Komisi Pemilihan Umum Daerah Kabupaten Natuna, menemukan titik terang. Anggaran bernilai puluhan milliar itu, ternyata tidak dikelola dengan baik, sesuai amanat Perpres no 16 tahun 2018, tentang pengadaan barang dan jasa, dan undang-undang no 8 tahun 2008, tentang keterbukaan informasi publik.

Perilaku menerobos aturan main dalam pengadaan barang dan jasa itu, bisa jadi karna lembaga tersebut jarang dipantau aparat penegak hukum, sehingga membuat PA/KPA merasa diatas angin. Kemarin, berita KPUD Kabupaten Natuna, menjadi berita headline di media harianmetropolitan.co.id, lantaran “bobroknya” pengelolaan anggaran Pilkada tahun 2020. Berita itu sontak memantik reaksi masyarakat dan meminta, agar anggaran tersebut diusut untuk mencegah terjadinya tidak pidana korupsi.

Saat itu, redaksi menyoal tentang rencana umum pengadaan KPU Natuna, yang hanya memuat 82 item kegiatan dengan total pagu anggaran senilai Rp1.094.000.000 (satu milliar, sembilan puluh empat juta rupiah). Jelas, hal ini merupakan celah praktek korupsi, sebab laporan dalam rencana umum pengadaan berbeda dengan jumlah anggaran yang diterima oleh KPU Natuna untuk pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2020.

Persoalan lain, Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Natuna ternyata melakukan pecah paket kegiatan terhadap pengadaan Alat Tulis Kantor (ATK), padahal Mata Anggaran Kegiatan (MAK) serupa. Celakanya, terdapat sejumlah pengadaan barang dan jasa yang telah dibelanjakan namun tidak masuk dalam rencana umum pengadaaan KPU Kabupaten Natuna, seperti, pengadaan buku panduan PPDP, pengadaan stiker pemutahiran data pemilih, pengadaan formulir A.KWK, pengadaan topi dan ban legan PPDP, sehingga tidak diketahui, siapa pemenang proyek.

Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Natuna, dibawah pimpinan Junaidi, terbilang cukup berani, lantaran melakukan pekerjaan, “tanpa” melalui proses pengadaan barang dan jasa. Biasanya, perilaku ini melibatkan PA/KPA, PPTK, dan Bendahara. Lantas, siapakah otak dibalik pengadaan barang dan jasa, sehingga berani dikerjakan tanpa proses?.

Pasca berita viral, Komisi Pemilihan Umum Daerah Kabupaten Natuna, bak kebakaran jenggot memperbaiki sejumlah dugaan pelanggaran tindak pidana korupsi penyalagunaan kewenangan, yang berhasil dirangkum redaksi media harianmetropolitan.co.id.

Kemarin, dalam rencana umum pengadaan Komisi Pemilihan Umum Daerah Kabupaten Natuna, hanya memuat 82 paket pekerjaan dengan total pagu anggaran senilai Rp1.094.000.000. Kini, paket kegiatan yang sudah dikerjakan tanpa melalui proses pengadaan barang dan jasa itu dimasukkan kedalam RUP, sehingga ada 88 kegiatan, dengan pagu anggaran senilai Rp1.800.000.000 (satu miliar, delapan ratus juta rupiah).

(Kegiatan yang sudah dikerjakan tanpa proses pengadaan barang dan jasa, kini masuk dalam rencana umum pengadaan KPUD Natuna)

Praktek “curang” ini tentu harus diperiksa aparat penegak hukum, sebab Nafri Hartoyo (Widyaiswara Balai Diklat Malang) dalam laman Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Kementrian Keuangan Republik Indonesia, secara tegas mengatakan, mengumumkan rencana umum pengadaan merupakan salah satu tahapan dalam pengadaan barang/jasa. Apabila salah satu tahapan saja dilanggar, maka dianggap melanggar peraturan pengadaan barang/jasa secara keseluruhan. “Besar kecilnya hukuman tergantung hasil penyelidikan aparat hukum, apakah ada kegiatan sistematis untuk menyembunyikan paket pekerjaan atau tidak,” tulisnya.

Selain itu, tidak diumumkannya rencana umum pengadaan melalui website dan atau LPSE, maka tindakan pengguna anggaran (PA) merupakan perbuatan melawan hukum (secara pidana) berdasarkan ketentuan Pasal 32 Ayat (1) UU No 11 Tahun 2008 tentang ITE yang menyatakan sebagai berikut ; Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik orang lain atau milik publik, di kenakan sanksi sesuai Pasal 48 Ayat (1) UU No 11 tahun 2008 tentang ITE, dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 2.000.0000.000,00 (dua miliar rupiah).

Jika persoalan ini dibiarkan, bukan tidak mungkin, kejadian tindak pidana korupsi dana hibah dari Pemerintah Kabupaten Natuna saat penyelenggaraan pemilihan bupati tahun 2015 lalu, yang melibatkan mantan Bendahara KPU Kabupaten Natuna, Muhamad Taufik Bin Pattaungan, terulang kembali. Jika dalam pengelolaan anggaran saja berani menerobos aturan, masih percayakah publik, KPUD Natuna jujur dalam penyelenggaraan Pilkada?.

(Sekretaris KPUD natuna, Syamsuardi)

Hingga berita ini terbit, Sekretaris Komisi Pemilihan Umum Daerah Kabupaten Natuna, Syamsuardi, belum berhasil dikonfirmasi. Begitu juga dengan Ketua KPUD Natuna, Junaidi. Tunggu ulasan selanjutnya, terkait aliran dana pengadaan barang dan jasa di Komisi Pemilihan Umum Daerah Kabupaten Natuna, edisi mendatang. (Red)

 

Bagikan

Recommended For You

About the Author: Redaksi Harian Metropolitan

Exit mobile version