
harianmetropolitan.co.id- Belakangan ini, informasi tentang persoalan utang pada pihak ketiga jadi headline dipelbagai lini media massa, termasuk di Kabupaten Natuna.
Akar rumput masalah ini adalah tidak mampunya pemerintah daerah membayar sejumlah kegiatan tahun 2024, sehingga membebani anggaran tahun 2025. Faktornya, besar pasak dari tiang. Asumsi pendapatan meleset, sementara belanja “ugal-ugalan”.
Persoalan ini semakin diperparah karena tahun 2024 lalu terjadi kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Celakanya, Bupati Natuna Wan Siswandi kalah padahal petahana. Alhasil, kebijakan yang sempat dijalankan tersebut membebani pemerintahan berikutnya. Hal ini menjadi buah bibir di ruang publik yang mengartikan, jika persoalan utang murni kesalahan Bupati Natuna Wan Siswandi. Benarkah demikian?
Kontestasi Pemilihan Kepala Daerah ditetapkan tanggal 27 November 2024. Saat itu, Bupati Natuna, Cen Sui Lan dan Wakil Bupati Natuna, Jarmin Sidik, diusung dan didukung oleh kekuatan partai besar diantaranya, Partai Golkar, Gerindra, PAN, PKB dan Partai Gelora.
Masing-masing partai ini mayoritas punya keterwakilan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Natuna dan menduduki posisi penting, tertutama saat pembahasan anggaran tahun 2024 bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Kabupaten Natuna.
Celakanya, fungsi pengawasan para wakil rakyat itu tidak berjalan maksimal, sehingga kebijakan pemerintah dalam pengelolaan keuangan daerah berjalan “liar”.
Fakta-fakta itu bisa dilihat dengan kasat mata di laman Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kabupaten Natuna, dimana belanja modal pengadaan barang dan jasa di bulan November dan Desember 2024 mencapai puluhan miliar rupiah, sementara pendapatan daerah saat itu belum mencapai target.
Meski ada anggota dewan masuk sebagai tim pendukung pasangan Cen Sui Lan dan Jamin Sidik atau biasa disebut CERMIN, tidak satupun fungsi pengawasan anggaran dijalankan. Perwakilan anggota dewan dari fraksi partai-partai besar itu justru turut serta melaksanakan sejumlah kegiatan, utamanya pokok pikiran. Tidak ada dewan bersuara lantang menolak dijalankannya kegiatan pengadaan barang dan jasa.
Jadi, masyarakat harus diberikan edukasi jika persoalan utang bukan persoalan kebijakan individu, karena dalam sistim pemerintahan daerah, ada peran para pemangku kebijakan (Eksekutif) dan pengawas kebijakan (Legislatif).
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Natuna seharusnya melakukan fungsi pengawasan anggaran, apakah kegiatan sudah didasarkan pada kemampuan keuangan atau tidak. Celakanya, ditengah ketidakpastian kondisi keuangan saat itu, dewan justru membeli mobil dinas baru bernilai miliaran rupiah.
Jadi, publik harus paham, jika DPRD sebagai perpanjangan lidah masyarakat punya peran penting mengawasi kebijakan pemerintah daerah. Jika saat itu dewan melakukan rapat dengar pendapat tentang kondisi keuangan, apakah mampu membiayai sejumlah kegiatan yang sudah disahkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) tahun 2024, tentu persoalan utang tidak menjadi buah bibir masyarakat.
Kini, publik menanti taji anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Natuna mendesak pemerintah menyelesaikan utang tahun 2024, sesuai amat instruksi Presiden dan Surat Edaran Kementerian Dalam Negeri. Persoalan utang, tidak perlu dipolitisasi sebagai kesalahan individu, karena berbicara pemerintahan daerah, maka berbicara soal kelembagaan. Jika Cen Sui Lan tidak ingin dimasa pemerintahannya terulang masalah serupa, perlu dilakukan mutasi dilingkungan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Kabupaten Natuna.
Penulis : Pemimpin Redaksi media harianmetropolitan.co.id
