
NATUNA, harianmetropolitan.co.id- Pengadilan Agama Kabupaten Natuna mencatat jumlah perkara perceraian masuk sepanjang Januari hingga Juni 2025 telah mencapai angka 80 kasus. Dari jumlah tersebut, sekitar 60 kasus telah diputus, sementara sisanya masih dalam proses sidang, pendaftaran, atau penetapan jadwal persidangan, Selasa 10 Juni 2025.
Hal ini disampaikan oleh Miftahul Jannah, Humas Pengadilan Agama Natuna, menyebut bahwa dari total kasus yang telah diputus, hanya sekitar 40-an sudah berkekuatan hukum tetap. Sejumlah perkara lainnya masih dalam tahap perlawanan hukum atau menunggu pemeriksaan lebih lanjut, di mana belum dapat dipastikan apakah akan berakhir dengan perceraian atau justru rujuk kembali.
“Setiap perkara kami periksa secara menyeluruh. Tidak semua permohonan perceraian langsung dikabulkan. Kami harus memastikan apakah memang ada perselisihan atau pertengkaran yang sah, didukung bukti dan saksi,” jelas Miftah saat ditemui diruang kerja.
Menurutnya, dalam beberapa kasus, permohonan perceraian tidak dapat diterima karena tidak memenuhi syarat formal maupun materiil. Mahkamah Agung RI sendiri telah mengamanatkan agar perceraian tidak dilakukan dengan mudah. Salah satunya melalui aturan bahwa pasangan minimal harus berpisah tempat tinggal selama enam bulan sebelum perceraian bisa dikabulkan, kecuali terbukti ada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dalam persidangan.
“Kalau mereka belum pisah rumah selama enam bulan, perceraian hanya bisa dikabulkan jika dalam sidang terbukti adanya KDRT. Dan KDRT itu bukan hanya fisik, tapi juga bisa verbal, emosional, bahkan tidak memberikan nafkah termasuk bentuk KDRT,” tambahnya.
Dari data, perkara perceraian di Natuna didominasi oleh cerai gugat, yakni gugatan cerai diajukan oleh istri. Penyebab utamanya adalah tidak diberikannya nafkah secara layak, perlakuan kasar, hingga campur tangan pihak ketiga dalam rumah tangga, seperti mertua.
“Sebagian besar cerai gugat yang diajukan istri disebabkan oleh masalah ekonomi dan KDRT. Bahkan ada pasangan yang baru menikah awal tahun 2024, di akhir tahun itu sudah mengajukan perceraian,” terangnya
Sementara itu, cerai talak diajukan oleh suami kebanyakan disebabkan karena dugaan perselingkuhan dari pihak istri. Meski demikian, ada pula kasus cerai gugat akibat suami berselingkuh.
Pengadilan Agama Natuna terus mengedepankan pendekatan persuasif dalam menangani perkara perceraian. Setiap sidang perceraian selalu diawali dengan upaya damai, baik melalui pendekatan keagamaan maupun psikologis.
“Kami selalu mengingatkan bahwa perceraian adalah perbuatan dibenci oleh Allah. Kami juga mengajak mereka mengenang kembali momen-momen bahagia saat awal pernikahan, agar mereka berpikir ulang,” kata Miftah.
Pihak pengadilan juga bekerja sama dengan instansi lain untuk memediasi, terutama jika salah satu pihak adalah aparatur sipil negara. Bahkan, dalam banyak kasus, para hakim dan mediator mencoba melibatkan keluarga untuk membantu menyadarkan pasangan agar tidak gegabah dalam mengambil keputusan.
Menutup keterangannya, Miftahul Jannah mengimbau kepada masyarakat Natuna untuk tidak mengambil keputusan perceraian dalam kondisi emosi.
“Jangan sampai ego dan emosi sesaat membuat kita mengambil keputusan besar seperti perceraian. Karena dampaknya sangat besar, terutama bagi anak-anak. Setelah bercerai, kewajiban suami untuk memberikan nafkah anak tetap berlaku. Jangan sampai kita menyesal di kemudian hari,” tegasnya.
(***Hani)