
CATATAN PINGGIR_Dalam panggung politik lokal, ada satu fenomena kerap buat masyarakat geleng-geleng kepala, dimana tim sukses kepala daerah merasa seakan punya kursi empuk di ruang rapat birokrasi. Padahal, secara teori demokrasi, tim sukses itu tugasnya sederhana, membantu saat kampanye, menyambung aspirasi warga dan setelah calon kepala daerah itu terpilih, kembali ke kehidupan normal, bukan malah jadi pejabat “bayangan”, ikut mengatur arah anggaran dan keputusan.
Jika itu terjadi, maka ada miskonsepsi peran. Tim sukses adalah relay komunikasi, bukan remote control pemerintahan. Mereka seperti kurir, menyampaikan paket aspirasi masyarakat. Kalau kurir ikut buka paket, lalu bilang isinya harus diubah, itu bukan lagi kurir, tapi pembajak logistik. Begitu juga tim sukses. Kalau ikut mengatur birokrasi, artinya mereka sedang lompat pagar konstitusi.
Bayangkan, birokrasi itu seperti dapur umum dan kepala daerah adalah koki utama dimana pegawai pemerintah adalah kru dapur yang tau resep resmi, sementara tim sukses cukup duduk manis di meja makan, lalu bilang, cabenya kurang, warga minta pedas sedikit. Itu sah-sah saja. Tapi kalau tim sukses nekat masuk dapur, rebut sendok dan menyuruh kru ubah resep seenaknya, hasilnya bukan lagi makanan sehat, tapi eksperimen kacau bikin perut publik mules berjamaah.
Dengan kata lain, tim sukses itu fungsinya penyampai pesan, bukan pengambil keputusan. Kalau mereka salah posisi, yang repot bukan hanya birokrasi, tapi kepala daerah. Publik juga akan dibuat bingung dan bertanya-tanya, siapa pemimpin sebenarnya.
Jadi, mari taruh peran pada tempatnya. Tim sukses cukup menjadi penyampai pesan, biarkan birokrasi berjalan sesuai jalur. Kalau semua ikut mengatur, korban utama adalah rusaknya sistim birokrasi dan menurunkan kepercayaan publik pada kepala daerah. (***Rian)