Jadi Pemecah Batu, Hidupi Anak dan Istri

(Juwito alias Acil, sedang duduk diatas bongkahan batu besar, saat diwawancarai wartawan harianmetropolitan. foto-Rian)

NATUNA, harianmetropolitan.co.id–Di tengah sejuknya udara di pagi hari, dan merdunya kicauan burung-burung, wajah Juwito alias Acil, pria asal Jawa Timur, berusia 31 tahun, sudah tampak lelah. Kepulan asap rokok, sesekali munutupi wajahnya, sembari termenung di depan bongkahan batu besar, di sekitar Jalan Senubing, Kelurahan Ranai, Kecamatan Bunguran Timur, Kabupaten Natuna, Jumat 23 Juli 2021.

Saat ditemui wartawan harianmetropolitan, Acil sempat menunjukkan gestur tubuh terkejut. Ternyata ia termenung sembari memulihkan tenaganya, akibat kelelahan memecah bongkahan batu, untuk dijual sebagai material dasar proyek.

Perbincangan dengan Acil, pria berusia 31 tahun itu semakin hangat, kala dirinya menyuguhkan secangkir kopi. Acil, merupakan pria lulusan paket B atau setara Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dirinya merantau ke Kabupaten Natuna pada tahun 2010 lalu, karena diajak temannya yang sudah terlebih dahulu bekerja di Natuna. Demi menghidupi anak dan istri, Acil berangkat ke Natuna, daerah yang tidak pernah ia pikirkan.

Sebelum ke Kabupaten Natuna, Acil memang sudah sering memecah batu. Namun, ia sempat bekerja di Kota Jambi sebagai penjaga lembu milik keluarganya. Sesekali ia pergi memetik sawit, meski cara memetik tidak ia pahami. “Ya, namanya merantau, harus pintar-pintar dan banyak belajar, apa saja dikerjakan asal halal,” ucap pria bercelana pendek warna merah tersebut, dengan topi merah melekat di kepalanya.

Kisah Acil berlanjut ketika sampai di Natuna tahun 2010. Meninggalkan seorang anak perempuan usia enam tahun dan istri di Jawa Timur, tentu berat baginya. Apalagi, dimasa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) ini, harapannya untuk pulang kampung menemui istri dan anak tercinta, pupus sudah.

Tapi, Acil memahami apa yang dilakukan pemerintah, sebagai upaya mencegah penyebaran Covid-19. Meski pendidikannya tidak tinggi, tapi kepekaannya terhadap kondisi bangsa saat ini tinggi. “Orang banyak meninggal karena Covid-19, lebih baik jangan pergi dulu kemana-mana,” ucapnya.

Sehari-hari, Acil memecah batu di Desa Limau Manis, Kecamatan Bunguran Timur Laut. Kebetulan ada permintaan, sehingga ia memecah batu di Kelurahan Ranai.
Saat ini Acil tinggal di Basecamp pemecah batu dan tidak mengontrak rumah, karena lokasi kerja dengan perkampungan warga lumayan jauh. “Lebih baik tinggal di Basecamp, tidak cape jalan jauh-jauh,” kata Acil.

Dalam sebulan, Acil mampu mengumpulkan uang hasil jeri payahnya sebesar Rp4 juta hingga Rp5 juta. Uang itu ia dapat jika dirinya mampu memecah batu hingga dua sampai empat kubik dalam sehari. “Kalau badan fit bisa sampai empat kubik bang. Kerjanya pagi sampai malam,” katanya.

Selama pandemi Covid-19, Acil tidak pernah mendapat bantuan dari pemerintah. Ia juga tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Kabupaten Natuna. Ia malas mengurus, karena tidak dapat tinggal lama di Kabupaten Natuna karena istri ingin tinggal di kampung kelahiran, Jawa Timur.

Dari kacamata Acil, Natuna merupakan surga tersembunyi. Banyak potensi dapat dimanfaatkan jika tidak malas. “Kalau tidak malas di Natuna pasti hidup enak,” ucap.

Ucapan Acil tidak muluk-muluk. Kabupaten Natuna memang kaya akan potensi Sumber Daya Alam (SDA) dan tidak akan ada pengangguran, jika pemerintah daerah dapat mengelola potensi daerah dengan bijak.

Acil menegaskan, tidak ada asalan untuk menjadi pengangguran di Kabupaten Natuna. Jika musim ikan pergi melaut, ikan banyak. Jika musim badai, pergi kekebun bercocok tanam atau memecah batu. “Kerjaan halal dan tidak menyusahkan orang lain,” katanya.

Diusia lanjut, Acil ingin menua di Jawa Timur. Ia sedang mengumpulkan modal untuk dapat berjualan. “Kalau modal dah dapat saya akan pulang kampung berjualan,” katanya. (*Rian)

Bagikan

Recommended For You

About the Author: Redaksi Harian Metropolitan

Exit mobile version