[OPINI] Merdeka Belajar Sampai ke Daerah Tertinggal

harianmetropolitan.co.id‐ Pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS) disebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan wajib memegang beberapa prinsip, diantaranya prinsip pendidikan yang harus diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa dengan satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.

Penyelenggaraan pendidikan ini juga harus mendorong proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran melalui mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

Dalam merespon pembelajaran tatap muka yang telah berhenti hampir dua tahun belakangan akibat pandemi Covid-19, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Ditjen Diktiristek) Kemendikbudristek telah menyiapkan Mobil Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), Kampus Merdeka dan Mobil Vaksinasi sebagai solusi dan inovasi kebutuhan mendukung PJJ terlaksana dengan baik serta akses internet untuk pendidikan di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) sehingga murid sekolah di daerah tersebut dapat belajar secara daring dan luring dengan lancar.

Langkah ini juga digunakan untuk meminimalisir learning loss bagi murid yang tinggal di daerah 3T dan tidak pernah tersentuh jaringan internet. PJJ yang sudah dilakukan sejak dua tahun belakangan sudah berimbas lebih awal akibat keterbatasan internet dan gadget untuk bersekolah secara daring.

Selain itu peningkatan pendidikan di daerah 3T dilakukan melalui program Kampus Mengajar Perintis, yakni kegiatan belajar mengajar berbentuk asistensi untuk memberdayakan mahasiswa dalam proses belajar mengajar di tingkat satuan pendidikan sekolah dasar negeri di berbagai kabupaten dan kota.

Tahap pertama program ini sudah dilaksanakan dimana sekitar 2.500 mahasiswa dari 90 perguruan tinggi mengikuti program tersebut di 692 sekolah dasar di 277 kabupaten dan kota di 32 provinsi seluruh Indonesia.

Program ini menjadikan manfaat timbal balik bagi siswa dan mahasiswa itu sendiri, dimana mahasiswa belajar untuk menanamkan empati hingga kepekaan sosial terhadap sekitar dalam bidang pendidikan serta juga mengasah cara berpikir dan bekerja dari mahasiswa itu sendiri.

Selain itu mahasiswa juga dapat berkolaborasi dengan guru untuk menentukan strategi belajar yang efektif khususnya di masa pandemi ini sehingga mendorong terciptanya inovasi baru dalam pendidikan.

Daerah 3T sebenarnya adalah tanggung jawab pemerintah daerah, namun ketika pendidikan di daerah ini sudah tertinggal jauh maka pemerintah pusat melalui Kemendikbudristek harus turut bergerak.

Akan tetapi hal ini tidak bisa langsung dilaksanakan tanpa melalui asesmen kompetensi hingga survei karakter guru dan murid. Untuk mengatasi berbagai persoalan di daerah 3T memang perlu perhatian khusus dari semua stakeholder, pemerintah melalui Kemendikbudristek memang sudah melakukan berbagai terobosan baru termasuk dari Program Merdeka Belajar, namun mendorong kemajuan pendidikan di daerah 3T tidak bisa sebatas peran pemerintah saja.

Guru, orang tua dan anak juga memiliki peran penting. Pembinaan dan pendidikan karakter anak perlu diperhatikan pada situasi pandemi saat ini. Meskipun Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTMT) sudah dilaksanakan, guru dan orang tua harus tetap saling berkomunikasi untuk mengawasi dan mengevaluasi perkembangan pemahaman pelajaran bagi anak karena anak memasuki fase pembelajaran yang berbeda dari sebelum pandemi sehingga tingkat pemahaman dan niat belajar setiap anak pasti berbeda.

Selain itu guru juga harus didorong agar mampu meningkatkan kapasitas pengajarannya di masa pandemi ini, hal ini dapat dilakukan melalui pelatihan mentoring dan praktek pendampingan secara langsung.

Pada akhirnya Program Merdeka Belajar memang menjadi alternatif baru namun juga sekaligus menjadi tantangan apakah akan berjalan sesuai agenda Kemendikbudristek atau malah menjadi persoalan baru di tengah kemelut pendidikan di masa pandemi khususnya di daerah 3T yang serba kekurangan dengan akses yang sulit.

Akan tetapi bagaimana pun program ini harus terus didukung secara penuh sebagai solusi baru yang mampu merevitalisasi sistem pendidikan yang membangun kompetensi murid sehingga tuntutan belajar 15 tahun bukan dijadikan sebagai paksaan dan hal yang membosankan tetapi justru kegiatan bermanfaat yang menyenangkan. (*)

Bagikan

Recommended For You

About the Author: Redaksi Harian Metropolitan

Exit mobile version